*disadur dr milist alumni
Saya temukan sosok ideal pegawai pajak pada mendiang suami saya.
Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang hampir
sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia
terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami
biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman
kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati
kami. Dafi
Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya,
dua putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan
Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari
2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi,
Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi
long distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan
anak anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang
saya menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah
yang membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang
memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat
dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan
kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya
tidak mengerti apa maksudnya).
Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah
bekerja selama satu dekade , kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah
takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya
kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu
–bahkan hingga kini. Saya bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah
dan teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak
dan betapa ribetnya mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang punya
rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu
yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai
seorang istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji
sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk
mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.
“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah
keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya, Ayah akan memberikan yang
terbaik untuk kami,” jawab saya.
“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya
membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur
sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan
itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah
pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.
“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu akhirnya terjawab dengan
modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada 2006, sampailah juga
gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu itu Abang dinas di
Pekalongan.
Abang orang yang sangat sabar, tenang, tak banyak bicara. Malah
terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya, saya tahu ia tak diam.
Selama kami bersama, belum pernah ia marah sekalipun. Ia laki-laki
yang hangat dan update –selalu tahu semua hal. Diajak segala macam
diskusi, pasti langsung nyambung apapun topiknya, apalagi soal agama.
Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia orang yang ngocol,
kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar kesayangan, ia sering
bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya, melucu sampai
tertawa terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami rindukan.
Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak yang sering dinyanyikan,
“Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian,melainkan yang beriman dan
yang beramal sholeh, ingat lima perkara sebelum lima perkara, sehat
sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum
sempit, hidup sebelum mati…”
Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak diragukan. Saya acungi
jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil enam bulan anak
pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia masih bekerja
larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di Pekalongan. Opname
yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu hari-hari akhir
penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah solusi yang kami
pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak usah dilakukan
pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu. Namun, bedrest
hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen fingerprint.
Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja, kenapa?”
saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok mikirin kerjaan,
gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?”
Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan saya. Alhasil, dengan
keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit itu ujian dari Allah.
Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,” jawabnya simpel.
Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui dengan baik. Lalu, Abang mutasi
ke Palembang. Satu sisi lebih jauh dengan kami. Tapi di sisi lain,
lebih dekat dengan kampung halamannya. Alhamdulillah, Agustus 2010,
kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor Pelayanan Pajak BUMN, kantor
pajak dengan penerimaan terbesar, yang perlu effort lebih tentunya.
Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah yang Abang ambil adalah
yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua saya–
mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”.
Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam
setiap memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai
tergoda dengan duniawi ya.”
“Kenapa suamimu gak minta pindah di Bandung saja? Kan bisa lewat Si
Anu. Yah, minimal setor satu Kijang lah,” salah satu teman saya yang
suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi. Saya tak tahu maksud
ucapannya, apakah ia bercanda atau serius.
Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum saat saya ceritakan hal itu.
“Sudah, gak usah dipikir. Allah punya rencana yang lebih indah untuk
kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang Pajak sudah modern udah gak perlu
kayak gitu lagi kok. Yang penting kerja kita bagus. Apapun yang kita
lakukan karena Allah. Malah jadi ibadah kan?”
Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini mengecewakan banyak pihak yang
telah bekerja keras. Di satu sisi justru suami saya senang. “Pada
akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,” tuturnya. Di sisi
lain, kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang Pajak seperti
Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah modern,
sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya yakin. Secara tidak
langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di lingkungan
saya.
Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin perfeksionis. Ia ingin segala
hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak mau meninggalkan cela pada
pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah bila harus menyetrika
bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang lebih puas dengan hasil
setrika sendiri.
Februari 2011, Abang mengemban amanat, jadi satu anggota tim yang
menyusun sebuah buku coaching di Kantor Pusat. Ia siap mengutarakan
sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program itu. Sayang, dalam
perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong takdirnya. Satu
titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan
anak-anak.
* * *
Dua kali kami tertunda berangkat haji. Pada akhir 2008, kami sudah
siap. Namun, Abang mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang tugas
dari Palembang menuju Jambi. Tabungan kami untuk Ongkos Naik Haji pun
akhirnya terpakai untuk biaya mengganti mobil dinas Livina yang
ringsek. Abang tak mau memanfaatkan fasilitas asuransi kendaraan
kantor. Dia memilih bertanggung jawab sendiri. Uang bisa dicari,
mungkin Allah belum berkehendak. Yang penting Abang selamat. Tahun
2009 pun kami lewatkan. Maklum, masih belum cukup biaya untuk
melunasi. Hingga akhirnya, 2010, saya mantap naik haji. Berapapun
biayanya. Apapun kendalanya. Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami
ingin beribadah.”Alhamdulillah, ada jalan walaupun kami harus
memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun Abang masih ragu, “Bunda,
apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal, dengan gajinya sekarang,
mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH. Namun tidak demikian.
Abang masih bersikeras dengan alasannya. Alhamdulillah akhirnya saya
dapat memantapkan hati Abang. Dengan izin-Nya, kami bisa melunasi ONH
dari hasil tabungan gaji pokok PNS, bonus, dan sedikit tambahan
pinjaman. November, tiga bulan sebelum kehilangannya, berangkatlah
kami berdua.
Sepertinya Allah sudah menyusun rencana dengan sangat indah. Empat
puluh hari saya bersamanya di tanah suci adalah waktu yang sangat
indah dan tak dapat saya lupakan. Selama kami berumah tangga dari awal
menikah, kami belum bisa kumpul bersama. Saat itulah saya merasakan
indahnya kebersamaan yang tak ingin terpisahkan. Sempurna rasanya
sebagai istri yang bisa melayani dan mengurus suami. Begitupun Abang.
Ia menunjukka keceriaan yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Abang
adalah tipe orang yang sangat perhatian dan romantis. Satu kali kami
hendak salat dan saya berdiri di samping belakangnya. “Bunda salatlah
di saf (barisan) perempuan.” “Tapi, Ayah… Bunda sendirian.” kebetulan
saat itu suasana padat sekali di Masjidil Haram. Saya sempat mengelak.
“Berjihadlah, ayah bertanggung jawab mendidik Bunda dan anak-anak.”
Sedih rasanya mendengar jawaban itu. “Bunda harus terbiasa sendiri,”
sambung Abang.
“Kenapa, Yah?”
“Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
“Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
“Ada Allah yang menjaga anak-anak,” Senyumnya membuat hati saya merasa
tenang dan yakin. Ternyata ini pesantren yang Allah berikan lewat ilmu
agama yang baik dari Abang. Saya dapat pengetahuan banyak.Terima kasih
ya Rabb, Kau telah memberikan kesempatan untuk kami dapat beribadah
bersama. Sungguh, momen itu tak mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat
yang kami terima sampai kami tiba ke tanah air dengan selamat. Hadiah
terindah dari Tanah Suci, saya positif hamil.
Beberapa peristiwa merupakan pertanda yang tak saya sadari. Tanggal 9
Februari 2011, dua pekan sebelum hari celaka itu, kami nonton teve
bareng. Ada berita tentang selebritis yang jadi politisi kehilangan
suaminya –yang juga artis cum anggota Dewan. Sang istri menangis
mengelus-elus nisan suami. “Kalau Bunda seperti itu gimana, ya Yah?
Anak-anak masih kecil…” spontan saya nyeletuk dengan maksud bercanda.
Entah kenapa rasa humor yang seperti biasanya, hilang tergantikan
dengan tausyiah. “Itu yang tidak boleh,” tuturnya tenang, “menangis,
meratapi di pusara tidak baik. Yang diperlukan orang yang telah
meninggal adalah doa dari yang masih hidup, bukan bunga yang wangi
atau nisan yang indah. Saat Nabi Muhammad ditinggal istri tercinta
Khadijah pun beliau merasakan kehilangan dan hanya berkabung tiga
hari. Boleh menangis, asal jangan meratap.”
“Hidup di dunia hanya sementara, justru hidup setelahnya yang akan
kekal. Perbanyaklah bekal untuk di akhirat. Tiada daya upaya manusia
untuk mencegah bila Allah telah berkehendak untuk mengambil nyawa
manusia. Jangan takut, Allah lebih dekat dari urat nadi kita. Banyak
baca buku tentang agama, yah Bun. Biar tambah banyak ilmunya.”
Dengan senyuman khas yang menenangkan, Abang tak pernah seperti sedang
mengajari bila ia sedang berbagi ilmu. Abang berujar, “Tolong jaga
anak-anak. Didik agamanya dengan baik. Istikamahlah karena bila
agamanya kuat dan takut kepada Allah, dia bisa menghadapi dunia dengan
ilmu. Bukan dengan harta dan ingat Allah selalu tahu apa yang kita
perbuat.”
* * *
Semenjak pulang ziarah, Abang memperlakukan saya begitu istimewa.
Mungkin karena saya sedang hamil. Saya begitu dimanjanya. Hingga
Minggu malam itu (20/2)… Kehamilan dua anak sebelumnya, Abang tak
pernah menuruti keinginan saya, sekalipun merajuk jika meminta
sesuatu. Tapi malam itu… “Kita makan di luar yuk. Bunda pasti pengen
apa deh. Kan lagi hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?” ujarnya setengah
memaksa untuk pergi. Akhirnya kami pergi makan di sebuah resto ikan
bakar favoritnya. Karena lama tugas di Makassar, kuliner ikan wajib
sebulan sekali buat kami. Abang memesan menu lebih banyak dari
biasanya. Alasannya, bisa dibungkus untuk sahur. Alhamdulillah,
Senin-Kamis tak pernah terlewatkan untuk puasa sunah. Apa ini yang
disebut pertanda? Hendak berangkat ke resto, kami mendapati ban mobil
kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar rumah nih. Ban kempes, kalo
ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah kesiangan rapat di Kantor
Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak terlambat? Gak enak dong.”Lagi
lagi dengan senyumanya.
Tengah malam, Kayyisah panas dan muntah. Rewel sekali. “Dede
(panggilan Kayyisah) pengen tidur sama Ayah aja…. Pengen dipeluk Ayah…
aku sayang Ayah. Ayah gak boleh kerja,” rengeknya. Abang pun membuka
baju, dan memeluk Dede. Dan Alhamdulillah panasnya reda. Dede pun
terlelap.
Pukul setengah tiga dini hari, kami bangun salat tahajud. Biasanya,
kami selalu berjamaah. Setelah berdoa, kami berpelukan, saling meminta
maaf. Ritual itu tak pernah absen kami lakukan sehabis salat. Tapi
kali ini Abang minta salat sendirian. “Kita pisah yah. Ayah mau
memperbanyak salat tahajudnya.”
“Kenapa?” pertanyaan itu mestinya saya ungkapkan. Tapi tertahan di hati saja.
Ikan bakar yang seharusnya jadi menu sahur tak Abang sentuh. Malah,
Abang meminta buah. “Bun, tahu gak buah-buahan itu makanan di surga.
Jadi Ayah cukup sahur dengan apel aja.” Saya tak bertanya, dua minggu
terakhir ini Abang bertausyiah tentang kematian terus. Keanehan yang
lain, Abang menitipkan Dede sama Mbak (pengasuh anak kami)
berulang-ulang.
“Tak seperti biasanya, Bapak nyuruh jagain Dede berulang gitu. Kok
kaya mau kemana aja,” ujar Mbak kepada saya. Jam 03.30 pagi. Saya dan
Dafi mengantarnya hingga ke pool travel Xtrans di Metro Trade Center.
Keanehan yang lain terjadi lagi. Abang tak mau memandang saya. Seperti
orang yang sangat sedih mau pergi. “Ayah mau salat di mobil saja. Bun,
hati-hati ya. Titip anak-anak,” itu kalimat terakhirnya. Biasanya
Abang minta berhenti di rest area guna salat subuh.
Tepat pukul 04.30. Ring tone hape yang sengaja saya bedakan berbunyi.
Abang menelepon saya. Sayang, tak sempat saya angkat karena rasa
kantuk. Kami begadang karena Dede rewel semalaman. Seandainya saja
saya bisa angkat telepon itu, mungkin saya bisa mendengar suaranya
yang terakhir kali…
Pukul 04:35. Menurut catatan kronologis Jasa Marga, peristiwa di Tol
Cipularang Jalur B Km 100 itu terjadi. Tabrakan karambol yang
melibatkan satu truk, minibus travel, dan sebuah mobil, menewaskan
tiga orang. Semuanya penumpang travel. Abang meninggalkan kami dalam
keadaan puasa. Dan mungkin tengah mendirikan salat subuh. Dalam
perjalanan memenuhi tugas.
Di mata saya, Abang wafat dalam jihad. Wallahualam –Tuhan yang punya ketentuan.
Allah punya kehendak lain. Allah lebih mencintai Abang daripada kami.
Dia lebih berhak atas Abang daripada kami. Ajal, jodoh, dan rejeki
hanya Allah yang tahu kapan dan di mana. Takkan pernah ada yang bisa
menghalangi atau pun tertukar. Bila Allah telah berkehendak, tak ada
yang mampu menahannya. Allah memberi kesempatan untuk saya agar lebih
dekat dan banyak beribadah lagi. Insyaallah ini menjadi ladang ibadah.
Menyangkut kejadian ini, jangan ditanya rasa sedih. Yang saya rasakan
hingga saat ini, air mata sepertinya tak bisa kompromi, seakan
mendesak keluar, jika mengingatnya. Namun, saya ingat pesan almarhum.
Saya tak boleh larut dipermainkan pikiran “seandainya-seandainya”. Itu
semua sudah kehendak-Nya. Tak kurang dan tak lebih. Sudah begitu
adanya. Hanya doa saya dan anakanak yang bisa kami berikan untuk
kekasih kami… Ismail Najib.
Belakangan saya mengetahui bahwa di perjalanan, Abang sempat berkirim
posting pada sebuah
grup teman kerja di Blackberry. Itu posting terakhirnya.
* * Feb 21 Mon 04:04 * *
Najib:
Dengar suara adzan selalu tdk dihiraukan atau nanti sajalahTp dengar
suara HP woow .!! :pLgsung segera diambil,Astgfirullahal’adzm. . :
(Baca Al-qur’anSeperti orang mengejaTapi kalo baca bbm Buseett
lancarnya,.:$Astagfirullahal’adzm. .Beli pulsa siapa takut !tp kalo
sedekah katanya kantong lg sekaratAstagfirullahal’adzm. .Pegang tasbih
1x dlm sethuntp pegang HP dibawa selalu, walau tidur
sekalipun.Astagfirullahal’adzm. .sama2 Insyaf yuuukk.!!! :pAda baiknya
bbm ini disebarkan, mumpung grtisan, dan qmpun mendapat pahala
karnasaling mengingtkan sesama* * *
Sabtu (19/2), dua hari sebelum kejadian, kami kontrol kandungan. Usia
kandungan menginjak bulan keempat. Keinginan Abang untuk dikaruniai
anak kembar putri membuat dokter Sofi geli dibuatnya. Tak seperti
biasanya, dia ngebet ingin tahu apa jenis kelaminnya. “Perempuan atau
laki-laki, Dok? Satu apa kembar Dok?”
“Bapak mau ke mana sih? Kayak mau pergi jauh aja. Banyak banget
nanyanya. Masih empat bulan nih…”kata Dokter bercanda. “Pengen tahu,
apakah doa saya makbul atau gak.” Setelah cek, diketahui calon anak
kami rupanya perempuan. Tapi, “bukan kembar,” tutur Dokter. “Gak
apa-apa. Tahun depan bikin lagi yah Bun,” jawabnya sambil melirik
saya.
“Enak aja,” sahut saya bercanda. Rasa gembiranya tak bisa ditutupi.
“Ayah makin semangat kerja nih,” ujarnya, masih dengan senyuman
mautnya.
Sebulan kemudian, saya kembali kontrol. Kali ini… sendirian. Juga
untuk lima bulan ke depan hingga melahirkan. Dan bertekad membesarkan
anak anak saya sendiri. Ini masa yang sulit untuk saya bisa
melaluinya. Kesedihan selalu saya tutupi. Dalam keadaan hamil besar
sendiri tanpa suami. Betapa sesak rasanya, ujian ini begitu berat
pikir saya. Terpuruknya saya seperti hilang separuh nyawa. Tapi rasa
sayang pada Almarhum membuat saya bertekad harus bisa dan kuat!
Satu lagi yang membuat saya bangga, Abang tak pernah absen salat
berjamaah di masjid. Sampaisampai di kompleks masjid kami, Al-Hasan,
Abang disebut “Pak Ustad”. Para jamaah sudah tahu kebiasaan Abang :
paling lama berdoa setelah salat.
* * *
Bagaimana caranya? Apa saya sanggup membesarkan tiga orang anak ini?
Menjaga dan mendidik mereka seperti wasiat Almarhum? Dan ternyata,
perkataan Abang benar, “Allah yang menjaga.” Ini yang membuat kami
bangkit menjalani kehidupan selanjutnya. Saya bersyukur, Abang
mengajarkan “ilmu ikhlas”. Masih banyak ilmu yang diberikannya yang
baru saya mengerti sekarang sepeninggal Almarhum . Ternyata keikhlasan
berbalas pertolongan dari arah yang tak disangka.
Saya sempat down sewaktu mengurus segala sesuatu terkait hak suami
saya. Sangat ribet. Banyak dokumen yang perlu dilengkapi. Proses di
Kelurahan dan instansi lain cukup berbelit. Saya dihadapkan pada
birokrasi yang sangat panjang tanpa kejelasan prosedur. Namun rupanya
banyak uluran tangan yang membantu. Allah memberikan jalan kemudahan
bila kita berpasrah dan ikhtiar. Saya bersyukur karena masih bisa
bekerja. Kini, sayalah yang harus mencari nafkah demi anak-anak. Saya
tak bisa membayangkan, bagaimana dengan keadaan istri yang sama dengan
saya dan tidak bekerja?
Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman seangkatan Abang (Mas
Pank dan Mbak Tri).
Teman sepaguyuban telah banyak membantu dan memberikan support (baca
boks “Pak Najib di Mata Mereka” –peny). “Apakah saya berhak menerima
ini? Jika memang berhak, Alhamdulillah,” saya bertanya kepada Mas
Iwan, perwakilan teman seangkatan Abang, yang menyerahkan santunan.
Biaya sekolah Dafi juga terbantu berkat mereka. Terus terang, saya
kaget dan bersyukur, sepertinya saya tak sendiri. Ada keluarga baru
yang menemani kami.
Saya juga berterima kasih kepada teman-teman sekantor Abang. Mbak Rini
(Ibu Dwi Setyorini, Kasubag Umum –peny) dan tim Waskon mengurus
pencairan hak-hak almarhum. Sejak Februari, baru Oktober ini selesai.
Pak Joga (Bapak Joga Saksono, Kasi Pengawasan dan Konsultasi –peny),
serta Pak Yond Rizal (Kepala Kantor –peny). Kepala Kantor yang telah
mengusulkan Abang memperoleh predikat anumerta. Status anumerta
menegaskan bahwa Abang mangkat sewaktu menjalankan tugas.
** *
Tak ada yang banyak berubah dari rumah ini. Kecuali tinggi lantai yang
terpaksa saya naikkan 50 cm. Maklum, dua tahun terakhir, tiap hujan
turun, kompleks kami dilanda banjir. Air masuk hingga semata kaki.
Rencana menambah tinggi lantai sempat saya utarakan. Itu pun saya
lakukan karena masa kelahiran si bungsu kian dekat. Kasihan si kecil.
Namun pesan mendiang tetap terngiang, “Bagaimana dengan perasaan para
tetangga? Kalau rumah kita tinggi sendiri, bagaimana dengan mereka?
Kita jangan egois, Bunda.” Bahkan, untuk mengganti cat dinding yang
baru, Abang harus tengok kiri-kanan dulu.
Pernah ada teman nyeletuk, “Gue aja udah punya rumah tiga. Suami lu
kan Kasi.rumah dipinggiran ” Mendengar hal itu, nasihat beliau
sederhana, “Gak usah ngiri. Kita harus bangga dengan apa yang kita
punya.syukuri yang ada, Jangan harap suamimu akan mengambil sesuatu
yang lebih dari haknya.” Yah, rumah ini sejak kami beli dan tempati
pada akhir 2005, masih harus kami cicil hingga 10 tahun ke depan.
Tak ada yang banyak berubah dari rumah ini. Pigura mungil foto
perkawinan kami masih terpajang. Kami memakai sepasang baju dan kebaya
biru nyala segar. Dua buah foto kami berdua, saling berpelukan dan
tersenyum juga masih ada. Foto keluarga, waktu itu masih dua anak,
kami kompak memakai putih-putih, bertengger manis. Ada juga foto Dafi,
alangkah gagahnya ia, saat wisuda TK Al-Biruni angkatan 2010-2011. Si
sulung juga mempersembahkan piala Juara Kedua Lomba Gerak dan Lagu
Geordase TK se-Kecamatan Penyileukan 2011. Di atas meja belajar Dafi
dalam kamar, senantiasa berdetak jam dinding warna biru dari KPP Madya
Palembang.
Semuanya masih ada pada tempatnya, seperti saat Abang masih bersama
kami. Tak ada yang berubah… kau selalu di hati kami. Minggu malam itu,
sebelum berangkat menjemput takdirnya, Abang menulis surat di buku
Dafi dengan tinta ungu.
SURAT untuk:Dafi jagoan ayahDafi, ayah mau berangkat kerja dulu
ya.Abang jagain bunda sama dede yah.Abang emam nya yang banyak
ya..jangan lupa minum susu dan sikat gigikalau mau bobo.Belajar yang
rajinjangan lupa belajar solat.da dah Abang…peluk sayangdari ayah(Ayah
Najib)ttd
Tak akan ada yang berubah dari rumah ini. Kecuali anak -anak yang
bertambah besar. Anak-anak tetap ceria. Bermain bersama teman mereka
di depan televisi di ruang tengah. Saya tak mau menangis di depan
mereka, tiap kali mengingat Abang. Kalau kepergok Dafi, dia
mengingatkan, “Bunda nangis ingat Ayah yah? Kata Bu Guru, kalau
teringat ayah kita mesti berdoa, Bunda. Ayah sudah di surga, Bunda.
Berarti Ayah sudah berkumpul dengan Nabi Muhammad. Kan masih ada Abang
(panggilan Dafi), Kaka (panggilan Kayyisah setelah punya adik) dan
Dede. Kita berjuang bersama-sama, ya Bun. ” Saya takjub mendengarnya.
Anak seusia Dafi sudah bisa bertutur seperti itu.
Satu lagu sering dinyanyikan Almarhum untuk saya. Dan sekarang saya
persembahkan untuk beliau: “Takkan Terganti”.
meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahansemua takkan
mampu mengubahkuhanyalah kau yang ada di relungkuhanyalah dirimu mampu
membuatku jatuh dan mencintakau bukan hanya sekedar indahkau tak akan
terganti
Delapan bulan sudah berlalu tanpa kehadirannya.Yah, memang tak ada
yang banyak berubah dari rumah ini begitupun dengan hati kami, Kami
ingin sekadar menganggap Abang sedang berangkat kerja. Hanya, Ayah
masih belum kunjung pulang. Selamat jalan Ayah akan kubesarkan dan
kudidik anak kita seperti yang kau inginkan,semoga Allah selalu
melindungi kami dan Semoga kita dapat berkumpul di surga kelak. Kau
akan selalu ada bersama kami Peluk sayang kami yang menyayangimu..
Ummu Dafi – Bandung
Oktober 2011
sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia
terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami
biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman
kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati
kami. Dafi
Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya,
dua putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan
Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari
2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi,
Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi
long distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan
anak anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang
saya menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah
yang membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang
memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat
dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan
kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya
tidak mengerti apa maksudnya).
Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah
bekerja selama satu dekade , kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah
takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya
kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu
–bahkan hingga kini. Saya bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah
dan teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak
dan betapa ribetnya mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang punya
rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu
yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai
seorang istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji
sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk
mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.
“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah
keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya, Ayah akan memberikan yang
terbaik untuk kami,” jawab saya.
“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya
membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur
sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan
itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah
pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.
“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu akhirnya terjawab dengan
modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada 2006, sampailah juga
gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu itu Abang dinas di
Pekalongan.
Abang orang yang sangat sabar, tenang, tak banyak bicara. Malah
terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya, saya tahu ia tak diam.
Selama kami bersama, belum pernah ia marah sekalipun. Ia laki-laki
yang hangat dan update –selalu tahu semua hal. Diajak segala macam
diskusi, pasti langsung nyambung apapun topiknya, apalagi soal agama.
Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia orang yang ngocol,
kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar kesayangan, ia sering
bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya, melucu sampai
tertawa terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami rindukan.
Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak yang sering dinyanyikan,
“Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian,melainkan yang beriman dan
yang beramal sholeh, ingat lima perkara sebelum lima perkara, sehat
sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum
sempit, hidup sebelum mati…”
Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak diragukan. Saya acungi
jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil enam bulan anak
pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia masih bekerja
larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di Pekalongan. Opname
yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu hari-hari akhir
penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah solusi yang kami
pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak usah dilakukan
pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu. Namun, bedrest
hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen fingerprint.
Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja, kenapa?”
saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok mikirin kerjaan,
gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?”
Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan saya. Alhasil, dengan
keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit itu ujian dari Allah.
Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,” jawabnya simpel.
Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui dengan baik. Lalu, Abang mutasi
ke Palembang. Satu sisi lebih jauh dengan kami. Tapi di sisi lain,
lebih dekat dengan kampung halamannya. Alhamdulillah, Agustus 2010,
kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor Pelayanan Pajak BUMN, kantor
pajak dengan penerimaan terbesar, yang perlu effort lebih tentunya.
Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah yang Abang ambil adalah
yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua saya–
mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”.
Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam
setiap memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai
tergoda dengan duniawi ya.”
“Kenapa suamimu gak minta pindah di Bandung saja? Kan bisa lewat Si
Anu. Yah, minimal setor satu Kijang lah,” salah satu teman saya yang
suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi. Saya tak tahu maksud
ucapannya, apakah ia bercanda atau serius.
Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum saat saya ceritakan hal itu.
“Sudah, gak usah dipikir. Allah punya rencana yang lebih indah untuk
kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang Pajak sudah modern udah gak perlu
kayak gitu lagi kok. Yang penting kerja kita bagus. Apapun yang kita
lakukan karena Allah. Malah jadi ibadah kan?”
Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini mengecewakan banyak pihak yang
telah bekerja keras. Di satu sisi justru suami saya senang. “Pada
akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,” tuturnya. Di sisi
lain, kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang Pajak seperti
Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah modern,
sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya yakin. Secara tidak
langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di lingkungan
saya.
Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin perfeksionis. Ia ingin segala
hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak mau meninggalkan cela pada
pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah bila harus menyetrika
bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang lebih puas dengan hasil
setrika sendiri.
Februari 2011, Abang mengemban amanat, jadi satu anggota tim yang
menyusun sebuah buku coaching di Kantor Pusat. Ia siap mengutarakan
sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program itu. Sayang, dalam
perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong takdirnya. Satu
titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan
anak-anak.
* * *
Dua kali kami tertunda berangkat haji. Pada akhir 2008, kami sudah
siap. Namun, Abang mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang tugas
dari Palembang menuju Jambi. Tabungan kami untuk Ongkos Naik Haji pun
akhirnya terpakai untuk biaya mengganti mobil dinas Livina yang
ringsek. Abang tak mau memanfaatkan fasilitas asuransi kendaraan
kantor. Dia memilih bertanggung jawab sendiri. Uang bisa dicari,
mungkin Allah belum berkehendak. Yang penting Abang selamat. Tahun
2009 pun kami lewatkan. Maklum, masih belum cukup biaya untuk
melunasi. Hingga akhirnya, 2010, saya mantap naik haji. Berapapun
biayanya. Apapun kendalanya. Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami
ingin beribadah.”Alhamdulillah, ada jalan walaupun kami harus
memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun Abang masih ragu, “Bunda,
apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal, dengan gajinya sekarang,
mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH. Namun tidak demikian.
Abang masih bersikeras dengan alasannya. Alhamdulillah akhirnya saya
dapat memantapkan hati Abang. Dengan izin-Nya, kami bisa melunasi ONH
dari hasil tabungan gaji pokok PNS, bonus, dan sedikit tambahan
pinjaman. November, tiga bulan sebelum kehilangannya, berangkatlah
kami berdua.
Sepertinya Allah sudah menyusun rencana dengan sangat indah. Empat
puluh hari saya bersamanya di tanah suci adalah waktu yang sangat
indah dan tak dapat saya lupakan. Selama kami berumah tangga dari awal
menikah, kami belum bisa kumpul bersama. Saat itulah saya merasakan
indahnya kebersamaan yang tak ingin terpisahkan. Sempurna rasanya
sebagai istri yang bisa melayani dan mengurus suami. Begitupun Abang.
Ia menunjukka keceriaan yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Abang
adalah tipe orang yang sangat perhatian dan romantis. Satu kali kami
hendak salat dan saya berdiri di samping belakangnya. “Bunda salatlah
di saf (barisan) perempuan.” “Tapi, Ayah… Bunda sendirian.” kebetulan
saat itu suasana padat sekali di Masjidil Haram. Saya sempat mengelak.
“Berjihadlah, ayah bertanggung jawab mendidik Bunda dan anak-anak.”
Sedih rasanya mendengar jawaban itu. “Bunda harus terbiasa sendiri,”
sambung Abang.
“Kenapa, Yah?”
“Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
“Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
“Ada Allah yang menjaga anak-anak,” Senyumnya membuat hati saya merasa
tenang dan yakin. Ternyata ini pesantren yang Allah berikan lewat ilmu
agama yang baik dari Abang. Saya dapat pengetahuan banyak.Terima kasih
ya Rabb, Kau telah memberikan kesempatan untuk kami dapat beribadah
bersama. Sungguh, momen itu tak mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat
yang kami terima sampai kami tiba ke tanah air dengan selamat. Hadiah
terindah dari Tanah Suci, saya positif hamil.
Beberapa peristiwa merupakan pertanda yang tak saya sadari. Tanggal 9
Februari 2011, dua pekan sebelum hari celaka itu, kami nonton teve
bareng. Ada berita tentang selebritis yang jadi politisi kehilangan
suaminya –yang juga artis cum anggota Dewan. Sang istri menangis
mengelus-elus nisan suami. “Kalau Bunda seperti itu gimana, ya Yah?
Anak-anak masih kecil…” spontan saya nyeletuk dengan maksud bercanda.
Entah kenapa rasa humor yang seperti biasanya, hilang tergantikan
dengan tausyiah. “Itu yang tidak boleh,” tuturnya tenang, “menangis,
meratapi di pusara tidak baik. Yang diperlukan orang yang telah
meninggal adalah doa dari yang masih hidup, bukan bunga yang wangi
atau nisan yang indah. Saat Nabi Muhammad ditinggal istri tercinta
Khadijah pun beliau merasakan kehilangan dan hanya berkabung tiga
hari. Boleh menangis, asal jangan meratap.”
“Hidup di dunia hanya sementara, justru hidup setelahnya yang akan
kekal. Perbanyaklah bekal untuk di akhirat. Tiada daya upaya manusia
untuk mencegah bila Allah telah berkehendak untuk mengambil nyawa
manusia. Jangan takut, Allah lebih dekat dari urat nadi kita. Banyak
baca buku tentang agama, yah Bun. Biar tambah banyak ilmunya.”
Dengan senyuman khas yang menenangkan, Abang tak pernah seperti sedang
mengajari bila ia sedang berbagi ilmu. Abang berujar, “Tolong jaga
anak-anak. Didik agamanya dengan baik. Istikamahlah karena bila
agamanya kuat dan takut kepada Allah, dia bisa menghadapi dunia dengan
ilmu. Bukan dengan harta dan ingat Allah selalu tahu apa yang kita
perbuat.”
* * *
Semenjak pulang ziarah, Abang memperlakukan saya begitu istimewa.
Mungkin karena saya sedang hamil. Saya begitu dimanjanya. Hingga
Minggu malam itu (20/2)… Kehamilan dua anak sebelumnya, Abang tak
pernah menuruti keinginan saya, sekalipun merajuk jika meminta
sesuatu. Tapi malam itu… “Kita makan di luar yuk. Bunda pasti pengen
apa deh. Kan lagi hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?” ujarnya setengah
memaksa untuk pergi. Akhirnya kami pergi makan di sebuah resto ikan
bakar favoritnya. Karena lama tugas di Makassar, kuliner ikan wajib
sebulan sekali buat kami. Abang memesan menu lebih banyak dari
biasanya. Alasannya, bisa dibungkus untuk sahur. Alhamdulillah,
Senin-Kamis tak pernah terlewatkan untuk puasa sunah. Apa ini yang
disebut pertanda? Hendak berangkat ke resto, kami mendapati ban mobil
kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar rumah nih. Ban kempes, kalo
ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah kesiangan rapat di Kantor
Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak terlambat? Gak enak dong.”Lagi
lagi dengan senyumanya.
Tengah malam, Kayyisah panas dan muntah. Rewel sekali. “Dede
(panggilan Kayyisah) pengen tidur sama Ayah aja…. Pengen dipeluk Ayah…
aku sayang Ayah. Ayah gak boleh kerja,” rengeknya. Abang pun membuka
baju, dan memeluk Dede. Dan Alhamdulillah panasnya reda. Dede pun
terlelap.
Pukul setengah tiga dini hari, kami bangun salat tahajud. Biasanya,
kami selalu berjamaah. Setelah berdoa, kami berpelukan, saling meminta
maaf. Ritual itu tak pernah absen kami lakukan sehabis salat. Tapi
kali ini Abang minta salat sendirian. “Kita pisah yah. Ayah mau
memperbanyak salat tahajudnya.”
“Kenapa?” pertanyaan itu mestinya saya ungkapkan. Tapi tertahan di hati saja.
Ikan bakar yang seharusnya jadi menu sahur tak Abang sentuh. Malah,
Abang meminta buah. “Bun, tahu gak buah-buahan itu makanan di surga.
Jadi Ayah cukup sahur dengan apel aja.” Saya tak bertanya, dua minggu
terakhir ini Abang bertausyiah tentang kematian terus. Keanehan yang
lain, Abang menitipkan Dede sama Mbak (pengasuh anak kami)
berulang-ulang.
“Tak seperti biasanya, Bapak nyuruh jagain Dede berulang gitu. Kok
kaya mau kemana aja,” ujar Mbak kepada saya. Jam 03.30 pagi. Saya dan
Dafi mengantarnya hingga ke pool travel Xtrans di Metro Trade Center.
Keanehan yang lain terjadi lagi. Abang tak mau memandang saya. Seperti
orang yang sangat sedih mau pergi. “Ayah mau salat di mobil saja. Bun,
hati-hati ya. Titip anak-anak,” itu kalimat terakhirnya. Biasanya
Abang minta berhenti di rest area guna salat subuh.
Tepat pukul 04.30. Ring tone hape yang sengaja saya bedakan berbunyi.
Abang menelepon saya. Sayang, tak sempat saya angkat karena rasa
kantuk. Kami begadang karena Dede rewel semalaman. Seandainya saja
saya bisa angkat telepon itu, mungkin saya bisa mendengar suaranya
yang terakhir kali…
Pukul 04:35. Menurut catatan kronologis Jasa Marga, peristiwa di Tol
Cipularang Jalur B Km 100 itu terjadi. Tabrakan karambol yang
melibatkan satu truk, minibus travel, dan sebuah mobil, menewaskan
tiga orang. Semuanya penumpang travel. Abang meninggalkan kami dalam
keadaan puasa. Dan mungkin tengah mendirikan salat subuh. Dalam
perjalanan memenuhi tugas.
Di mata saya, Abang wafat dalam jihad. Wallahualam –Tuhan yang punya ketentuan.
Allah punya kehendak lain. Allah lebih mencintai Abang daripada kami.
Dia lebih berhak atas Abang daripada kami. Ajal, jodoh, dan rejeki
hanya Allah yang tahu kapan dan di mana. Takkan pernah ada yang bisa
menghalangi atau pun tertukar. Bila Allah telah berkehendak, tak ada
yang mampu menahannya. Allah memberi kesempatan untuk saya agar lebih
dekat dan banyak beribadah lagi. Insyaallah ini menjadi ladang ibadah.
Menyangkut kejadian ini, jangan ditanya rasa sedih. Yang saya rasakan
hingga saat ini, air mata sepertinya tak bisa kompromi, seakan
mendesak keluar, jika mengingatnya. Namun, saya ingat pesan almarhum.
Saya tak boleh larut dipermainkan pikiran “seandainya-seandainya”. Itu
semua sudah kehendak-Nya. Tak kurang dan tak lebih. Sudah begitu
adanya. Hanya doa saya dan anakanak yang bisa kami berikan untuk
kekasih kami… Ismail Najib.
Belakangan saya mengetahui bahwa di perjalanan, Abang sempat berkirim
posting pada sebuah
grup teman kerja di Blackberry. Itu posting terakhirnya.
* * Feb 21 Mon 04:04 * *
Najib:
Dengar suara adzan selalu tdk dihiraukan atau nanti sajalahTp dengar
suara HP woow .!! :pLgsung segera diambil,Astgfirullahal’adzm. . :
(Baca Al-qur’anSeperti orang mengejaTapi kalo baca bbm Buseett
lancarnya,.:$Astagfirullahal’adzm. .Beli pulsa siapa takut !tp kalo
sedekah katanya kantong lg sekaratAstagfirullahal’adzm. .Pegang tasbih
1x dlm sethuntp pegang HP dibawa selalu, walau tidur
sekalipun.Astagfirullahal’adzm. .sama2 Insyaf yuuukk.!!! :pAda baiknya
bbm ini disebarkan, mumpung grtisan, dan qmpun mendapat pahala
karnasaling mengingtkan sesama* * *
Sabtu (19/2), dua hari sebelum kejadian, kami kontrol kandungan. Usia
kandungan menginjak bulan keempat. Keinginan Abang untuk dikaruniai
anak kembar putri membuat dokter Sofi geli dibuatnya. Tak seperti
biasanya, dia ngebet ingin tahu apa jenis kelaminnya. “Perempuan atau
laki-laki, Dok? Satu apa kembar Dok?”
“Bapak mau ke mana sih? Kayak mau pergi jauh aja. Banyak banget
nanyanya. Masih empat bulan nih…”kata Dokter bercanda. “Pengen tahu,
apakah doa saya makbul atau gak.” Setelah cek, diketahui calon anak
kami rupanya perempuan. Tapi, “bukan kembar,” tutur Dokter. “Gak
apa-apa. Tahun depan bikin lagi yah Bun,” jawabnya sambil melirik
saya.
“Enak aja,” sahut saya bercanda. Rasa gembiranya tak bisa ditutupi.
“Ayah makin semangat kerja nih,” ujarnya, masih dengan senyuman
mautnya.
Sebulan kemudian, saya kembali kontrol. Kali ini… sendirian. Juga
untuk lima bulan ke depan hingga melahirkan. Dan bertekad membesarkan
anak anak saya sendiri. Ini masa yang sulit untuk saya bisa
melaluinya. Kesedihan selalu saya tutupi. Dalam keadaan hamil besar
sendiri tanpa suami. Betapa sesak rasanya, ujian ini begitu berat
pikir saya. Terpuruknya saya seperti hilang separuh nyawa. Tapi rasa
sayang pada Almarhum membuat saya bertekad harus bisa dan kuat!
Satu lagi yang membuat saya bangga, Abang tak pernah absen salat
berjamaah di masjid. Sampaisampai di kompleks masjid kami, Al-Hasan,
Abang disebut “Pak Ustad”. Para jamaah sudah tahu kebiasaan Abang :
paling lama berdoa setelah salat.
* * *
Bagaimana caranya? Apa saya sanggup membesarkan tiga orang anak ini?
Menjaga dan mendidik mereka seperti wasiat Almarhum? Dan ternyata,
perkataan Abang benar, “Allah yang menjaga.” Ini yang membuat kami
bangkit menjalani kehidupan selanjutnya. Saya bersyukur, Abang
mengajarkan “ilmu ikhlas”. Masih banyak ilmu yang diberikannya yang
baru saya mengerti sekarang sepeninggal Almarhum . Ternyata keikhlasan
berbalas pertolongan dari arah yang tak disangka.
Saya sempat down sewaktu mengurus segala sesuatu terkait hak suami
saya. Sangat ribet. Banyak dokumen yang perlu dilengkapi. Proses di
Kelurahan dan instansi lain cukup berbelit. Saya dihadapkan pada
birokrasi yang sangat panjang tanpa kejelasan prosedur. Namun rupanya
banyak uluran tangan yang membantu. Allah memberikan jalan kemudahan
bila kita berpasrah dan ikhtiar. Saya bersyukur karena masih bisa
bekerja. Kini, sayalah yang harus mencari nafkah demi anak-anak. Saya
tak bisa membayangkan, bagaimana dengan keadaan istri yang sama dengan
saya dan tidak bekerja?
Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman seangkatan Abang (Mas
Pank dan Mbak Tri).
Teman sepaguyuban telah banyak membantu dan memberikan support (baca
boks “Pak Najib di Mata Mereka” –peny). “Apakah saya berhak menerima
ini? Jika memang berhak, Alhamdulillah,” saya bertanya kepada Mas
Iwan, perwakilan teman seangkatan Abang, yang menyerahkan santunan.
Biaya sekolah Dafi juga terbantu berkat mereka. Terus terang, saya
kaget dan bersyukur, sepertinya saya tak sendiri. Ada keluarga baru
yang menemani kami.
Saya juga berterima kasih kepada teman-teman sekantor Abang. Mbak Rini
(Ibu Dwi Setyorini, Kasubag Umum –peny) dan tim Waskon mengurus
pencairan hak-hak almarhum. Sejak Februari, baru Oktober ini selesai.
Pak Joga (Bapak Joga Saksono, Kasi Pengawasan dan Konsultasi –peny),
serta Pak Yond Rizal (Kepala Kantor –peny). Kepala Kantor yang telah
mengusulkan Abang memperoleh predikat anumerta. Status anumerta
menegaskan bahwa Abang mangkat sewaktu menjalankan tugas.
** *
Tak ada yang banyak berubah dari rumah ini. Kecuali tinggi lantai yang
terpaksa saya naikkan 50 cm. Maklum, dua tahun terakhir, tiap hujan
turun, kompleks kami dilanda banjir. Air masuk hingga semata kaki.
Rencana menambah tinggi lantai sempat saya utarakan. Itu pun saya
lakukan karena masa kelahiran si bungsu kian dekat. Kasihan si kecil.
Namun pesan mendiang tetap terngiang, “Bagaimana dengan perasaan para
tetangga? Kalau rumah kita tinggi sendiri, bagaimana dengan mereka?
Kita jangan egois, Bunda.” Bahkan, untuk mengganti cat dinding yang
baru, Abang harus tengok kiri-kanan dulu.
Pernah ada teman nyeletuk, “Gue aja udah punya rumah tiga. Suami lu
kan Kasi.rumah dipinggiran ” Mendengar hal itu, nasihat beliau
sederhana, “Gak usah ngiri. Kita harus bangga dengan apa yang kita
punya.syukuri yang ada, Jangan harap suamimu akan mengambil sesuatu
yang lebih dari haknya.” Yah, rumah ini sejak kami beli dan tempati
pada akhir 2005, masih harus kami cicil hingga 10 tahun ke depan.
Tak ada yang banyak berubah dari rumah ini. Pigura mungil foto
perkawinan kami masih terpajang. Kami memakai sepasang baju dan kebaya
biru nyala segar. Dua buah foto kami berdua, saling berpelukan dan
tersenyum juga masih ada. Foto keluarga, waktu itu masih dua anak,
kami kompak memakai putih-putih, bertengger manis. Ada juga foto Dafi,
alangkah gagahnya ia, saat wisuda TK Al-Biruni angkatan 2010-2011. Si
sulung juga mempersembahkan piala Juara Kedua Lomba Gerak dan Lagu
Geordase TK se-Kecamatan Penyileukan 2011. Di atas meja belajar Dafi
dalam kamar, senantiasa berdetak jam dinding warna biru dari KPP Madya
Palembang.
Semuanya masih ada pada tempatnya, seperti saat Abang masih bersama
kami. Tak ada yang berubah… kau selalu di hati kami. Minggu malam itu,
sebelum berangkat menjemput takdirnya, Abang menulis surat di buku
Dafi dengan tinta ungu.
SURAT untuk:Dafi jagoan ayahDafi, ayah mau berangkat kerja dulu
ya.Abang jagain bunda sama dede yah.Abang emam nya yang banyak
ya..jangan lupa minum susu dan sikat gigikalau mau bobo.Belajar yang
rajinjangan lupa belajar solat.da dah Abang…peluk sayangdari ayah(Ayah
Najib)ttd
Tak akan ada yang berubah dari rumah ini. Kecuali anak -anak yang
bertambah besar. Anak-anak tetap ceria. Bermain bersama teman mereka
di depan televisi di ruang tengah. Saya tak mau menangis di depan
mereka, tiap kali mengingat Abang. Kalau kepergok Dafi, dia
mengingatkan, “Bunda nangis ingat Ayah yah? Kata Bu Guru, kalau
teringat ayah kita mesti berdoa, Bunda. Ayah sudah di surga, Bunda.
Berarti Ayah sudah berkumpul dengan Nabi Muhammad. Kan masih ada Abang
(panggilan Dafi), Kaka (panggilan Kayyisah setelah punya adik) dan
Dede. Kita berjuang bersama-sama, ya Bun. ” Saya takjub mendengarnya.
Anak seusia Dafi sudah bisa bertutur seperti itu.
Satu lagu sering dinyanyikan Almarhum untuk saya. Dan sekarang saya
persembahkan untuk beliau: “Takkan Terganti”.
meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahansemua takkan
mampu mengubahkuhanyalah kau yang ada di relungkuhanyalah dirimu mampu
membuatku jatuh dan mencintakau bukan hanya sekedar indahkau tak akan
terganti
Delapan bulan sudah berlalu tanpa kehadirannya.Yah, memang tak ada
yang banyak berubah dari rumah ini begitupun dengan hati kami, Kami
ingin sekadar menganggap Abang sedang berangkat kerja. Hanya, Ayah
masih belum kunjung pulang. Selamat jalan Ayah akan kubesarkan dan
kudidik anak kita seperti yang kau inginkan,semoga Allah selalu
melindungi kami dan Semoga kita dapat berkumpul di surga kelak. Kau
akan selalu ada bersama kami Peluk sayang kami yang menyayangimu..
Ummu Dafi – Bandung
Oktober 2011
No comments:
Post a Comment